Karangrejo adalah sebuah Desa terletak di tengah-tengah kota Kecamatan. Dahulu sebelum berbentuk Kantor Kecamatan disebut Asisten atau Onder Distrik Karangrejo. Disitulah tempat kedudukan Asisten Wedana yang sekaligus sebagai Kantor Kepala Wilayah yang mengendalikan kekuasaan terhadap desa-desa. Khusus untuk Onder Distrik Karangrejo memiliki 13 (tiga belas) Desa atau Lurah.
Sedaangkan Desa Karangrejo merupakan Desa yang berada di tengah-tengah pusat pemerintahan. Oleh karenanya Kantor Kecamatan disebut Kecamatan Karangrejo.
Disamping itu, letak kedudukan Desa Karangrejo, batas sebelah timur adalah sebuah sungai yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Kali Ngrawa. Sungai Ngrawa yang sedikit banyak ikut andil dalam mengisi lembaran sejarah Tulungagung. Memang sepanjang alirannya adalah dari Rawa Campurdarat Tulungagung.
Desa Karangrejo memiliki 3 (tiga) pedukuhan. Pedukuhan-pedukuhan tersebut yang sebelah barat adalah dukuh Pakel sedangkan yang sebelah timur dengan dipisahkan oleh sebuah jalan raya dari arah timur (jurusan ke Wilayah Kedungwaru dan Ngantru) menjadi2 (dua), yaitu sebelah selatan jalan, dukuh Karangrejo merupakan dukuh Krajan yang sebelah utara disebut dukuh Kucen atau Pakuncen.
Kronologis Keadaan di Masa Sekitar Awal Abad ke 18
Adanya disebut dukuh Kucen atau Pakuncen, konon kabarnya pada zaman dahulu di dukuh tersebut merupakan tempat tokoh yang di serahi tugas untuk bertanggung jawab sebagai juru kunci utama pada Astana Gedong, yaitu makam kuno yang terdapat di sebelah barat dukuh pakuncen sekitar 300 m, yaitu di Desa Gondang Lor (sekarang desa Sukodono).
Bahkan makam tersebut sampai sekarang masih nampak kekeramatannya serta ketinggian martabat para leluhur yang dimakamkan di situ. Terbukti dalam lokasi makam masih terdapat 3 (tiga) pembagian menurut kasta. Dimulai dari lokasi dalam untuk leluhur yang berkasta tinggi (para Tumenggung dll). Berikutnya untuk kasta mengah dan terakhir pada bagian selatan untuk kasta rendah atau masyarakat biasa.
Kembali tentang lokasi di Kali Ngrowo yang kemudian di atasnya didirikan sebuah jembatan untuk menghubungkan lalu lintas dari jurusan Wilayah Kedungwaru dan Ngantru masuk ke dalam Wilayah Karangrejo, jembatan tersebut disebut jembatan Kali Ngrowo, namun masyarakat cenderung menyebut treteg kucen.
Sebelum dibangun jembatan, pada masa dahulu lokasi tersebut merupakan salah satu Babagan (pelabuhan sungai) untuk para pedagang, yang setiap hari hilir mudik perahu-perahunya untuk menerima dan mengirimkan seluruh hasil bumi yang datang dari beberapa wilayah, misalnya : Sendang, Mojo, Pagerwojo, Kedungwaru, Ngantru dan dari daerah selatan yaitu Ngrowo. Barang-barang tersebut antara lain, kelapa, gula, bambu, tembakau dari Tawing, duku, langsep, nanas dari Ketanon dan Gendingan, the periuk dari tanah termasuk jun, klenting, kendi dari Banaran dll.
Untuk pertemuan para pedagang-pedagang dari beberapa wilayah yang saling melaksanakan jual beli di Karangrejo didirikanlah sebuah pasar bertempat sebelah barat babagan tersebut kurang lebih 150 m, yang sekarang bekas pasar itu telah menjadi masjid dan SD Karangrejo I.
Dengan adanya kesibukan para pedagang di babagan tersebut, dimungkinkan inisiatif dari penguasa daerah untuk menjaga keamanan dan penertiban pajak, maka didekat lokasi tersebut didirikan suatu bangunan sebagai Kawedanan atau Distrik yang dikenal dengan sebutan Kawedanan Kucen. Karena lokasinya terletak di sebelah utara jalan yaitu dukuh Kucen, dengan seorang Wedana sebagai penguasa yang membawahi beberapa Onder Distrik. Sebagai bukti fisik yang sekarang masih ada adalah 2 (dua) buah tugu pintu masuk ke halaman Kawedanan dan sebuah pohon beringin tua yang pada masa dahulu terletak di belakang Kawedanan.
Pada saat itu disebutkan Bupati Tulungagung tetapi masih dikenal dengan sebutan Bupati Ngrowo. Sebutan tersebut berakir pada tahun 1901.
Di Karangrejo yang menjabat Kepala Desa masih sebutan Lurah, yaitu Pak Kasilan. Sedangkan yang diserahi tugas untuk mengatur dan mengelola kauangan pasar Karangrejo adalah Pak Regu Dinomo, yang kemudian setelah mbah Lurah Kasilan meninggal dunia, beliau dipilih untuk menjadi Lurah sekaligus yang ditugaskan sebagai Cariknya adalah putera beliau, yaitu Pak Soeroso Witono yang dalam hal ini sebagai narasumber.
Perlu diketahui, bahwa memasuki pertengahan abad ke-18, dengan perkembangan pemerintahan wilayah dan lain-lainnya, maka Kawedanan Pakuncen sudah dipindahkan ke Wilayah Kalangbret. Dan Karangrejo berubah menjadi Onder Distrik sampai ganti istilah Kecamatan seperti sekarang
Dengan tidak berfungsinya Kawedanan Pakuncen tersebut dan kenyataannya keadaan disana sini menjadi rusak, maka oleh Pak Lurah Regu Dinomo dirubah untuk dijadikan Pasar sebagai pindahan dari pasar yang lama, yang kemudian bekas pasar yang lama didirikan masjid dan gedung Sekolah Rakyat. Pada waktu itu kejadiannya sekitar tahun 1908, dan sebagai tempat kedudukan penguasa wilayah yaitu Asisten Wedono, dibangun Kantor Asistenan di sebelah selatan Masjid kurang lebih 100 m, disebelah timur jalan raya jurusan Tulungagung-Mojo-Kediri.
Sehubungan dengan status peranahan di bekas Kawedanan Pakuncen adalah menjadi tanah sigendom, maka dalam perkembangan selanjutnya, disebelah selatan pasar tersebut didirikan beberapa bangunan, antara lain Rumah Pegadaian, Kantor Tilpun Pembantu, yang sebagian besar rusak pada masa agresi di bumi-hanguskan
Keadaan Pada Masa Pemerintahan Jepang, Sekitar Tahun 1942.
Pada saat pemerintah Jepang, khususnya di Desa Karangrejo tidak banyak mengalami perubahan. Keadaan tetap seperti biasa yang sudah terjadi.
Hanya pada saat Jepang merasa perlu malakukan usaha preventif untuk berjaga-jaga menghadapi serangan musuh (dalam hal ini Belanda), maka dalam hal strategis kemiliteran Jepang telah mendirikan beberapa benteng perlindungan rahasia menggali tanah di beberapa tempat, antara lain di depan Masjid (dekat perempatan jalan). Dengan menempatkan alat-alat persenjataannya menghadapi kemungkinan sewaktu-waktu ada serangandari utara.
Juga merencanakan lagi membangun benteng perlindungan seperti itu, dibawah rindangan pohon-pohon bamboo di sebelah timur Kantor Kecamatan sekarang. Yang mana pada saat pembuatan tersebut sampai pernah terjadi korban seorang masyarakat kecil yang sedang mengintip ingin tahu. Setelah ketahuan Pemerintah Jepang ia mendapatkan hukuman mati.
Sedangkan jalan raya Karangrejo yang menuju ke Sendang sangat difungsikan untuk kendaraan-kendaraan militer Jepang. Untuk mengadakan komunikasi dengan penduduk di Arga Wilis dan Sumber Pandan (Sendang) yaitu gedung-gedung bekas perkebunan dan tempat-tempat peristirahatan bekas Belanda.
Lebih-lebih pada saat diadakan sirine bahaya di malam hari, dengan berdalih mengadakan latihan perang menghadapi serangan udara, selalu hilir mudik truk-truk Jepang dalam keadaan gelap gulita, terus menderu-deru takada hentinya.
Hal ini berjalan terus sampai pada akhirnya bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945.
Keadaan Desa Karangrejo Pada Masa Agresi Militer Belanda
(Masa kelas-II Tahun 1948/1949 sampai sekarang)
Pada saat terjadi kelas ke II, dukuh Pakuncen atau Kucen wilayah Karangrejo yang paling utara. Tepatnya dilokasi bekas Pabrik/Gudang Kapuk yang dikenal dengan nama “Plengsengan”, pernah ditempatkan pos penjagaan oleh pihak Tentara Republik dari Kesatuan CPM (Corps Polisi Militer) di bawah pimpinan Kapten Rachmat guna mempertahankan wilayah Karangrejo dari kemungkinan terjadi serangan oleh Belanda, terutama dari wilayah timur yaitu dari Ngantru yang melalui Desa Batokan. Karena dilokasi tersebut merupakan jalur lalu lintas melalui penyebrangan sungai (penambangan perahu) yang setiap hari dilalui oleh orang-orang yang akan melakukan kegiatan ekonomi di pasar Temon (sekarang Sukorejo).
Pada saat itu markas CPM berkedudukan disebelah barat Masjid yang sekarang ditempati Kantor/Gedung KUD dan dapur umumnya bertempat di rumah Bpk. Soeroso Witono (di sebelah utara Pasar Karangrejo).
Pernah terjadi suatu pagi cerah sekitar pukul 08.30 WIB rencana penyerangan dari pihak Belanda dari arah timur melalui Desa Batokan akan menuju ke pos yang berada di tambangan plensengan. Tetapi berkat komunikasi yang kompak dan cepat dari masyarakat sehingga ketika Pasukan Belanda berada di tepi sungai, perahu-perahu di lokasi tambangan sudah berada di tepi Barat (pihak Karangrejo semua). Akhirnya hanya terjadi aksi saling tembak menembak sekitar 2 jam. Pasukan Belanda pun akirnya mundur, kembali ke wilayah Ngantru.
Akibat dari kegagalan ini akhirnya dalam waktu yang relatif singkat kurang lebih 4 hari kemudian, pada waktu pagi sekitar pukul 08.00 WIB pada awal bulan puasa 1949 Belanda bertubi tubi menembakan peluru montir / canon dari Tulungagung ditujukan ke markas CPM dan ke dapur umum yang juga membawa korban beberapa masyarakat sekitarnya.
Selesai penembakan tersebut suasana menjadi tenang kembali. Namun dengan sangat tiba tiba dan tanpa diketahui sebelumnya oleh Masyarakat tiba-tiba Pasukan Belanda tanpa mengeluarkan tembakan sama sekali sudah berhasil masuk wilayah Karangrejo sekitar pukul 15.00 dari arah selatan melalui Kalangbret. Masyarakat dan tentara CPM menjadi panik dan penduduk segera diungsikan. Pihak CPM sekuat tenaga sekuat tenaga yang ada melakukan perlawanan untuk menghambat masuknya pasukan Belanda.
Mulai saat itulah Desa Karangrejo diduduki oleh Belanda. Sementara itu bekas Gedung Asistenan dan beberapa rumah penduduk yang memenuhi syarat dipergunakan untuk markas dan pos-pos penjagaan Belanda.Sebelum Belanda berhasil menduduki Desa Karangrejo, pasukan geriliya dibawah pimpinan Bpk. Jendral Soedirman pernah mengadakan perjalanan route geriliya dari Desa Banaran Kalangbret melalui Desa Karangrejo menuju ke Nganjuk.
Dalam masa pendudukan Belanda, di Desa Karangrejo pernah terjadi sekelumit peristiwa yang berkaitan dengan sejarah perjuangan Bangsa, yaitu dengan adanya eksekusi penembakan terhadap seorang anggota kepolisian bernama Sukadi yang tertangkap sewaktu melakukan tugas geriliya.
Untuk mengenang jasa-jasa tersebut, oleh Kakandepdikbud Kecamatan Karangrejo pada tahun 1983, pada saat diselenggarakan penataran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) bagi guru-guru SD se Kecamatan Karangrejo. Dalam upacara penutupan telah diangkat suatu upacara khidmat dengan ditandai pemasangan papan lengkap dengan tulisan perjuangannya sebagai monumen di tempat penembakan, yaitu di ujung Desa Karangrejo paling barat, tepatnya di Dukuh Pakel di dekat persawahan yang berbatasan dengan Desa Gondang.
Sesudah klas ke II keadaan aman kembali. Pembangunan secara fisik dimulai berangsur-angsur. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat telah dibangun kembali Kantor Pegadaian walaupun hanya sebagaian. Namun sekitar tahun 1956 Kantor Pegadaian dipindah ke Karangwaru Tulungagung, sehingga dilokasi tersebut kosong. Oleh karena itu untuk memungsikan kembali tempat-tempat tersebut sekitar tahun 1971 telah dimanfaatkan dengan dibangun untuk Kantor Polsek dan Koramil 0807 / 16, yang kemudian berkembang dengan pendirian Kantor Pengairan, Pos dan Giro dan Gedung pertemuan PWRI. Keadaan sungai Ngrowo makin kurang teratur, aliran airnya kurang lancar. Di tebing kiri kanan banyak difungsikan Masyarakat sebagai tempat pembuangan kotoran sehingga nampak kurang bersih. Namun sesuai dengan program usaha kebersihan dan keindahan kota Tulungagung serta kerja sama antara Dinas Pengairan dan Proyek Drainase, sekitar tahun 1992 telah dilaksanakan pengerukan dan penataan tebing, sehingga keadaannya kembali nampak bersih dan indah.